Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Senin, 20 Juli 2009

ISOLASI SOSIAL

1.Pengertian
Suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan yang mengancam (Standar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa, 2006). Perilaku menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins, 1993).
Pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan yang mengancam.



2.Karakteristik
Menurut Standar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa (2006), karakteristik menarik diri, adalah sebagai berikut: menarik diri, tidak komunikatif, mencoba menyendiri, autistik, tidak ada kontak mata, sedih, afek tumpul, perilaku bermusuhan, menyatakan perasaan sepi atau ditolak, kesulitan membina hubungan di lingkungannya, menghindari orang lain, mengungkapkan perasaan tidak dimengerti orang lain.

Selain data yang telah diuraikan diatas, menarik diri dapat ditandai dengan: (NIC & NOC,2005): kehilangan dukungan dari orang terdekat (keluarga, teman atau kelompok), bersuara/berperilaku bermusuhan, menarik diri, tidak ada komunikasi, menunjukan perilaku yang tidak dapat diterima oleh kultur, berusaha sendiri atau keluar dari subkultural, mengulang-ulang tindakkan, tidak ada kontak mata, preokupasi, aktivitas tidak sesuai dengan umur, tanda-tanda keterbelakangan fisik atau mental atau perubahan status kesejahteraan, sedih, afek datar, mengekspresikan perasaan yang menyendiri dari orang lain.

Menurut Standar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa (2006) faktor yang berhubungan dengan masalah menarik diri antara lain: perubahan status mental, ketidakmampuan terlibat dalam hubungan personal, tidak menerima nilai social, tidak menerima perilaku social, tidak adekuatnya sumber pribadi, kurangnya minat.

3.Psikodinamika Terjadinya Menarik Diri Pada Klien Skizorenia Paranoid.
a.Faktor Predisposisi
1)Teori Biologikal dan hubungannya dengan menarik diri
a)Genetik
Transmisi gangguan alam perasaan yang membuat perasaan sedih dan individu merasa tak pantas berada ditengah lingkungan sosialnya. Keadaan ini diteruskan melalui garis keturunan. Frekuensi gangguan alam perasaan meningkat pada kembar monozigot dibanding dizigot walaupun diasuh secara terpisah.

b)Neurotransmitter
(1)Katekolamin : Penurunan relatif dari katekolamin otak atau aktifitas sistem katekolamin menyebabkan timbulnya depresi dan berusaha menghindari lingkungan sosial..
(2)Asetilkolin : Suatu peningkatan aktifitas kolinergik dapat menjadi faktor penyebab dan berusaha menghindasi lingkungan sosial.
(3)Serotonin : Suatu defisit pada sistem serotoninergik dapat merupakan faktor penyebab dari depresi dan berusaha menghindasi lingkungan sosial.

c)Endokrin
Keadaan sedih berkaitan dengan gannguan hormon seperti pada hipotiroidisme dan hipertirodisme, terapi estrogen eksogen, dan post partum.

d)Kronobiologi
Gangguan dari ritme sirkadian.

2)Teori Psikologikal dan hubungannya dengan menarik diri
Uraian teori psikologikal dan hubungannya dengan menarik diri yang dipaparkan disini lebih spesifik berdasarkan Teori Perkembangan Erik H. Erikson. Menurut Erikson, dalam menuju maturasi psikososial, manusia perlu menjalankan 8 tugas perkembangan (development task) sesuai dengan proses perkembangan usia.

Faktor stimulasi menjadi sangat penting melalui proses belajar menuju maturasi. Untuk mengembangkan hubungan social yang positif, setiap tugas perkembangan sepanjang daur kehidupan diharapkan dilalui dengan sukses sehingga kemampuan membina hubungan social dapat menghasilkan kepuasan bagi individu. Sebaliknya tugas perkembangan yang tidak dijalankan dengan baik memberikan implikasi masalah psikososial di kemudian hari, yaitu:
(a)Masa bayi/anak usia 0 – 1,5 tahun (konflik basic trust vs mistrust)
Bayi sangat bergantung pada orang lain dalam pemenuhan kebutuhan biologis dan psikologisnya. Bayi biasanya berkomunikasi untuk dipenuhi kebutuhannya dengan menangis. Kesediaan ibu secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan makan, rasa aman, rasa nyaman dan kehangatan akan berimplikasi pada pemebntukan rasa percaya pada diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Kegagalan ibu dalam memenuhi kebutuhannya akan berimplikasi pada rasa tidak percaya pada diri sendiri, orang lain, lingkungannya dan perilaku menarik diri.

(b)Masa anak usia 1,5 – 3 tahun (Conflik otonomy vs shame and doubt).
Pada rentang usia ini, anak mulai menyadari dirinya terpisah dengan orang lain (memiliki otonomi). Anakan mulai berkreasi dalam kebebasan dirinya seperti berlari-lari kian kemari, memegang segala sesuatu yang disukainya, dapat mengendalikan organ-organ tubuhnya dan dapat menyatakan menolak atau menerima sesuatu dari orang lain. Otonomi anak yang berkembang pada tahap ini menuju pada membina hubungan dengan orang lain secara interdependent. Kegagalan anak dalam membina hubungan dengan lingkungannya dan keluarga cenderung membatasi kebebasannya tas dasar pertimbangan yang negatif terhadap lingkungannya (over protective) berimplikasi pada kepribadian anak yang pemalu dan peragu. Pada kondisi lebih lanjut mengakibatkan individu menarik diri dari orang lain dan lingkungannya.

(c)Masa anak usia 3 – 6 tahun (Conflik initiative vs guilt)
Pada usia ini semakin berkembang rasa inisitatif anak. Anak mulai banyak bertanya secara kritis dan mencoba melakukan tugas tertentu. Inisiatif yang ditunjukkan misalnya mandi sendiri, memebreskan sendiri permainannya, membantu adiknya dan sebagainya. Pada usia ini, anak mulai menghadapi tuntutan normative dari lingkungannya. Hal ini dapat menimbulkan krisis pada anak sehingga akan mengalami kekecewaaan yang selanjutnya menuju pada rasa bersalah yang berlebihan. Sebaliknya jika lingkungannya kondusif maka berimplikasi pada pembentukan kepribadian anak yang berinisiatif. Perilaku yang menunjukkan rasa bersalah yaitu, takut memulai pekerjaan yang baru, meminta maaf secara berlebihan dan menjadi sangat malu hanya karena kesalahan kecil. Pada kondisi lebih lanjut dapat menimbulkan menarik diri.

(d)Masa anak usia 6 – 12 tahun (Conflik industry vs inferiority)
Pada usia ini, anak mulai terdorong untuk melaksanakan tugas-tugas yang dihadapinya secara sempurna dan menghasilkan karya-karya tertentu. Pada usia ini anak mulai bersekolah dan memulai menyesuaikan diri dengan aturan-aturan baru di lingkungan sekolah dan keluarga. Dengan bersekolah, anak memulai mengembangkan hubungan interpersonal dengan peer groupnya terutama dengan yang berjenis kelamin sama. Anak mulai mampu menukar kemampuannya, merasakan kegunaannya dan berkesempatan mebandingkan dirinya dengan teman sebayanya. Orang tua tidak lagi menjadi atu-satunya sumber identifikasi anak. Anak mulai melihat dan mengagumi orang lain selain orang tua dan temannya. Figur guru sangat menjadi panutan bagi anak sehingga sering kali anak menjadi lebih percaya pada gurunya daripada orang tuanya. Oleh karena itu orang tua dan guru haruslah menjadi figure yang seimbang untuk ditiru anak. Apabila lingkungan (orang tua dan guru) tidak menghargai hasil karya atau usaha anak maka anak akan mengalami ketidakpuasan dalam bekerja dan diliputi perasaan kurang, tidak mampu dan inferior yang ditunjukkan dengan perilaku : Tidak biasa bekerja sama dengan orang lain, tidak mampu mengerjakan tugas dengan tuntas dan tidak mampu mengatur tugas atau pekerjaan. Pada kondisi lebih lanjut mengakibatkan menarik diri.

(e)Masa usia 12 – 20 tahun (Conflik identity vs role confusion)
Merupakan usia peralihan dari akank-kanak menuju dewasa, yang sering disebut pubertas. Perubahan fisik dan kejiwaan terjadi begitu pesat sehingga dapat mengganggu keseimbangan diri yang sebelumnya sudah tercapai.Secara biologis kemampuan anak sama dengan orang dewasa, namun secara psikosial dianggap masih labil. Mereka dianggap tidak pantas berperilaku seperti anak-anak tetapi lingkungan juga tidak mengakui mereka sebagai orang dewasa. Pada usia ini, remaja mulai menunjukkan identitas dirinya, baik dalam seksual, umur dan pekerjaan. Kelompok teman sebaya menjadi sangat penting bagi remaja. Melalui teman sebaya, remaja dapat mengeksprersikan perasaan, pikiran, memainkan peran dan bereksperimen dengan peran. Dalam kelompok inilah remaja mendapat pengakuan dan merima keberadaannya. Sikap orang tua yang terbuka, mengembangkan komunikasi yang akrab, menghargai pendapat dan pikiran remaja, memberikan kesempatan untuk mengekspresikan diri sebagai sahabat bagi remaja akan sangat membantu remaja dalam memperoleh identitas dirinya. Sikap orang tua dan lingkungan yang tidak mendukung ke arah remaja menemukan identitas dirinya dengan selalau saling bertentangan akan menimbulkan kegagalan perkembangan yaitu terjadi kebingungan peran yang ditunjukkan dengan perilaku tidak mempunyai tujuan hidup yang pasti, tidak mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri dan mengadopsi nilai-nilai orang lain tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu. Pada kondisi lebih lanjut mengakibatkan menarik diri.

(f)Masa usia 20 – 40 tahun (Conflik intimacy vs isolation)
Tahap ini merupakan tahap perkembangan dewasa awal. Individu mulai bekerja dan meningkatkan hubungan yang khusus dengan lawan jenisnya. Usia ini dapat juga dikatakan sebagai karier dan berumah tangga. Pada usia ini individu biasanya juga sudah terlepas dari orang tuanya sehingga kegagalan maupun kesuksesan dalam tahap perkembangan ini lebih banyak ditentukan oleh dirinya sediri dan pasangan hidupnya daripada orang tuanya. Kegagalan dalam memenuhi perkembangan pada tahap ini mengakibatkan individu merasa terisolasi dan mearik diri.

(g)Masa usia 40 – 60 tahun (Conflik generativity vs stagnation)
Usia 40 – 60 tahun merupakan usia ketika seseorang mengalami titik karier puncak. Pada usia ini, individu akan menghasilkan sesuatu yang dapat ditawarkan kepada keturunannya. Dapat berupa tulisan, ide atau pikiran. Individu pada tahap perkembangan ini akan banyak memberikan nasihat dan pengarahan. Kegagalan pada tahap perkembangan ini berakibat individu mengalami stagnasi dimana individu lebih banyak menceritakan dirinya sendiri daripada mendengarkan orang lain. Implikasinya terhadap perkembangan psikososial dimana individu akan dijauhi dan menjauhkan diri dari orang lain dan lingkungannya yang disebut dengan menarik diri.

(h)Masa usia 65 tahun keatas.
Masa ini, individu akan mengalami masa kepuasan dan ketidakpuasan dalam kehidupannya. Bila dalam tahap perkembangan sebelumnya individu mengalami kepuasan dan siap mengalami penurunan fungsi hidupnya bahkan kematian. Hal ini disebut dengan individu telah mencapai integritas diri. Kegagalan pada usia ini, mengakibatkan individu akan mengalami keputusasaan hidup atau despair dengan berperilaku menangis dan apatis, sulit menerima perubahan dan sangat bergantung pada orang lain (tidak mandiri). Jika tidak mendapatkan perhatian mengakibatkan individu menarik diri dari orang lain dan lingkungan.

3)Teori sosiokultural dan hubungannya dengan menarik diri.
Menurut Kartini Kartono (1999, dikutip oleh Sunaryo, 2004) menyebutkan bahwa timbulnya gangguan mental/gangguan jiwa ditinjau dari factor sosial-budaya/sisio-kultural sebagai berikut:
(a)Konflik dengan standar social dan norma etis
Gangguan mental dapat terjadi karena individu tidak mampu berperilaku sesuai dengan standar social dan norma etik yang berlaku sehingga dalam kehidupan social akan terjadi benturan dengan masyarakat yang menganut standar social dan norma etik tertentu. Prinsip ini erat kaitannya dengan stress adaptasi yang menurut Suliswati, dkk. (2005) menyebutkan bahwa stress disebabkan oleh perubahan-perubahan diantaranya perubahan nilai budaya, perubahan system kemasyarakatan dan pekerjaan yang mengakibatkan gangguan keseimbangan mental-emosional karena gangguan produktivitas dan kehidupan seseorang menjadi tidak efisien. Kondisi ini berpengaruh terhadap respons menarik diri seseorang.

(b)Overproteksi orang tua
Akibat dari overproteksi atau perlindungan orang tua yang berlebihan terhadap anak mengakibatkan anak menjadi tidak mandiri, tidak percaya diri, tidak memiliki harga diri, ragu-ragu dan tidak memiliki kreativitas dan inisiatif. Dengan demikian mentalitas anak menjadi rapuh sehingga dapat diasumsikan bahwa lama kelamaan individu akan menarik diri dari orang lain dan lingkungan.

(c)Anak yang ditolak/tidak diterima dalam kelahirannya (rejected child).
Sering terjadi pada pasangan suami-isteri yang belum dewasa secara psikis sehingga pada saat hamil dan melahirkan cenderung menolak atau tidak mau bertanggung jawab sebagai ayah dan ibu yang baik (tidak cukup memberikan kasih saying). Hal ini dapat membentuk pribadi anak yang labil, mentalitas yang rapuh karena tidak percaya diri, tidak meiliki harga diri dan curiga sehingga dapat menimbulkan menarik diri dari hubungan social.

(d)Kondisi broken home
Keluarga yang broken home mengakibatkan anak mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan, hati yang kacau, bingung, sedih, hidup terombang-ambing antara kasih sayang dan kekecewaan terhadap orang tua. Selanjutnya anak menjadi mudah tersinggung, kesedihan yang berlebihan, putus asa, merasa terhina dan merasa berdosa. Perilaku anak akan menyimpang dari norma social seperti agresif, sadistic, kriminal dan psikopatis. Kondisi ini mengakibatkan individu dijauhi atau menjauhkan diri dari orang lain dan lingkungan social.

(e)Konflik budaya
Pertemuan budaya antara daerah atau suku bangsa yang satu dengan lainnya membutuhkan saling pengertian dan adaptasi sosial. Apabila terjadi konflik budaya dapat menimbulkan kecemasan, ketakutan dan kehidupan perasaan semakin datar, dingin dan beku. Ekses yang terjadi adalah perilaku yang menyimpang seperti tindakan kejahatan, kekalutan bathin dan stress psikososial. Kesemuaannya itu akan membawa individu pada kondisi menarik diri dari hubungan social.

(f)Lingkungan sekolah yang tidak kondusif
Lingkungan sekolah yang tidak kondusif seperti temperamen guru yang kejam, aktivitas peserta didik yang tertekan, bangunan tidak memenuhi syarat, tidak memiliki tempat rekreasi, dan sebagainya berimplikasi terhadap gangguan emosi anak serta konflik yang menjurus pada gangguan psikososial. Anak menjadi minder, tidak ada kebanggaan diri dan menurunnya kreatifitas sehingga berdampak pada harga diri yang rendah sehingga mengakibatkan menarik diri dari hubungan sosialnya.

(g)Cacat jasmaniah
Anak yang cacad jasmani cenderung merasa malu, minder, dibayangi ketakutan, keragu-raguan akan masa depannya sehingga menimbulkan harga diri rendah yang menjurus pada menarik diri.

(h)Motif kemewahan materi/finansial
Dewasa ini orang berlomba-lomba untuk memperoleh kemewahan material/finansial. Kebahagiaan hidup diukur dari suksesnya sesorang menduduki jabatan tinggi, status social dan sukses finasial. Keadaan seperti ini menggiring orang untuk melakukan penyimpangan atau mendapatkan materi dengan cara yang tidak halal. Orang menjadi gelisah dan cemas karena bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. Atau pada kondisi lain, pendapatan kecil tetapi ambisinya besar untuk sukses finansial, akibatnya timbul ketegangan batin dan ketakutan. Karena ukuran hidupnya/harga dirinya adalah sukses finansial, sementara kenyataannya tidak sesuai dengan harapan maka individu merasa renhdah diri atau martabatnya menurun. Akibatnya menjauhkan diri dari hubungan social dan lingkungan.

b.Stresor Presipitasi
1)Faktor Nature (alamiah)
Secara alamiah, manusia merupakan makhluk holistic yang terdiri dari dimensi bio-psiko-sosial dan spiritual (Dadang Hawari, 2002). Oleh karena itu meskipun stressor presipitasi yang sama tetapi apakah berdampak pada gangguan jiwa atau kondisi psikososial tertentu yang maladaptive dari individu, sangat bergantung pada ketahanan holistic individu tersebut (W.F. Maramis, 1998).

2)Faktor Origin (sumber presipitasi)
Demikian juga dengan factor sumber presipitasi, baik internal maupun eksternal yang berdampak pada psikososial seseorang. Hal ini karena manusia bersifat unik.

3)Faktor Timing
Setiap stressor yang berdampak pada trauma psikologis seseorang yang berimplikasi pada gangguan jiwa sangat ditentukan oleh kapan terjadinya stressor, berapa lama dan frekuensi stressor (PPDGJ-III, 2000).

4)Faktor Number (Banyaknya stressor)
Demikian juga dengan stressor yang berimplikasi pada kondisi gangguan jiwa sangat ditentukan oleh banyaknya stressor pada kurun waktu tertentu. Misalnya, baru saja suami meninggal, seminggu kemudian anak mengalami cacad permanen karena kecelakaan lalu lintas, lalu sebulan kemudian ibu kena PHK dari tempat kerjanya (Luh Ketut Suryani, 2005).


5)Appraisal of Stressor (cara menilai predisposisi dan presipitasi)
Pandangan setiap individu terhadap factor predisposisi dan presipitasi yang dialami sangat tergantung pada :
(a)Faktor kognitif : Berhubungan dengan tingkat pendidikan, luasnya pengetahuan dan pengalaman.

(b)Faktor Afektif : Berhubungan dengan tipe kepribadian seseorang. Menurut tipologi kepribadian C.G. Jung (dikutip oleh Sunaryo, 2004), menyebutkan bahwa tipe kepribadian introvert bersifat: Tertutup, suka memikirkan diri sendiri, tidak terpengaruh pujian, banyak fantasi, tidak tahan keritik, mudah tersinggung, menahan ekspresi emosinya, sukar bergaul, sukar dimengerti orang lain, suka membesarkan kesalahannya dan suka keritik terhadap diri sendiri.Tipe kepribadian extrovert bersifat : Terbuka, licah dalam pergaulan, riang, ramah, mudah berhubungan dengan orang lain, melihat realitas dan keharusan, kebal terhadap keritik, ekspresi emosinya spontan, tidak begitu merasakan kegagalan dan tidak banyak mengeritik diri sendiri. Tipe kepribadian ambivert dimana seseorang memiliki kedua tipe kepribadian dasar tersebut sehingga sulit untuk menggolongkan dalam salah satu tipe.

(c)Faktor Physiological
Menurut Suhartono Taat Putra (2005), kondisi fisik seperti status nutrisi, status kesehatan fisik, factor kecacadan atau kesempurnaan fisik sangat berpengaruh bagi penilaian seseorang terhadap stressor predisposisi dan presipitasi.

(d)Faktor Bahavioral
Pada dasarnya perilaku seseorang turut mempengaruhi nilai, keyakinan, sikap dan keputusannya (Bimo Walgito, 1989). Oleh karena itu, factor perilaku turut berperan pada seseorang dalam menilai factor predisposisi dan presipitasi yang dihadapinya. Misalnya, seorang peminum alcohol, dalam keadaan mabuk akan lebih emosional dalam menghadapi stressor.Demikian juga dengan perokok atau penjudi, dalam menilai stressor berbeda dengan seseorang yang taat beribadah.

(e)Faktor Sosial
Manusia merupakan makhluk social yang hidupnya saling bergantung antara satu dengan lainnya. Menurut Luh Ketut Suryani (2005), kehidupan kolektif atau kebersamaan berperan dalam pengambilan keputusan, adopsi nilai, pembelajaran, pertukaran pengalaman dan penyelenggaraan ritualitas. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa factor kolektifitas atau kebersamaan berpengaruh terhadap cara menilai stressor predisposisi dan presipitasi.

6)Coping Resources
(a)Personal abilities
Kemampuan seseorang dalam menggunakan koping mekanisme yang konstruktif dalam menghadapi stressor akan lebih meminimalisir dampak negatif dari stressor tersebut.
(b)Social support
Sistem pendukung dalam kehidupan social seseorang sangat penting untuk mengatasi berbagai stressor yang berdampak merugikan. Prinsip 3 A (asuh, asih, asah) dalam pendidikan bagi keluarga merupakan salah satu modal dasar yang bagus untuk dijalankan oleh setiap keluarga. Bentuk lain yang dikenal secara tradisional selama ini seperti gotong royong, silahturahmi, dan sebagainya merupakan social support yang bermanfaat.


(c)Material assets
Kehidupan manusia tidak terlepas dari dukungan material/finansial, meskipun hal itu bukan satu-satunya menjamin kebahagiaan hidup. Teori Basic Need Maslow merupakan keharusan untuk dipenuhi terutama kebutuhan pangan, sandang dan papan.
(d)Positive beliefs
Suhartono Taat Putra (2005) menyebutkan bahwa cara berpikir yang negatif akan memacu system hormon yang akhirnya banyak menghasilkan radikal bebas dalam tubuh. Oleh karena itu, orang yang berpikir positif akan jauh lebih nyaman, aman dan leluasa untuk berinteraksi dan produktif.

7)Coping Mechanisms
Menurut Tim keperawatan Jiwa FIK-UI (2002), klien menarik diri cenderung menggunakan mekanisme koping : Regresi, represi dan isolasi.

by:noviebsuryanto.21juli2009

Baca selanjutnya...

PRIMAL TERAPI

Teori Dasar
Psikoterapi merupakan seni dan ilmu yang terkait dengan masalah emosional. Sangat banyak bentuk psikoterapi yang didesain untuk membantu klien mengerti dan mengetahui apa yang ada dalam alam bawah sadar mereka. Masih sedikit bentuk desain yang secara aktual merubah apa yang ada dalam alam bawah sadar. Bagaimanapun, jika materi dalam alam bawah sadar tidak dirubah, hal tersebut akan bertahan dan akan memberikan kekuatan besar dan adakalanya mengesampingkan kejadian yang lebih besar daripada kekuatan ego. Hal inilah yang kita katakan sebagai neurosis. Dan pada satu atau kasus lainnya, hal tersebut selalu menimbulkan nyeri secara emosional (King, 1993).


Ketidaksadaran merupakan hal utama yang tercatat pada masa lalu dan tersimpan ketegangan dimasa lalu secara fisik dan emosional. Ketegangan ini akan memicu adanya suatu kejadian yang dirasakan kemudian. Pada kenyataannya, asalnya adalah dari alam bawah sadar, dan kemudian tidak kita sadari hal tersebut akan menjadi sumber aktual, kekuatan dari ketegangan yang ada akan memulai adanya suatu kejadian, dan situasi ini sebagai pemicu untuk menjadi penyebab utama.
Dalam pengertiannya bahwa obyek dari psikoanalisa adalah membantu klien untuk menemukan asal dari ketidaksadaran yang menjadi suatu ketegangan-ketegangan kemudian menganalisa serta menggunakan pengetahuan secara sadar untuk merubah yang ada dan perilaku masa di masa depan.
Dengan demikian, maka obyek dari primal psikoterapi adalah untuk meningkatkan suatu kehidupan dengan langkah pertama yaitu mengurangi tingkat ketegangan dari material yang ada dalam alam bawah sadar. Kemudian membuat ketegangan tersebut mungkin lebih sedikit yang menjadi pemicu dan sangat mengurangi kemampuan mereka dan akibat lebih lanjut akan memicu adanya kesadaran.
Pada awalnya, kita akan membantu klien untuk meningkatkan kesadaran sebelum memori ketidaksadaran, harus berhati-hati dengan tidak menyarankan apapun selama terapi berlangsung. Masa lalu benar-benar ”re- lived”. Sebelum motivasi terkubur secara jelas/nyata bagi klien. Tidak ada interpretasi atau analsis yang diperlukan dari terapis.
Selanjutnya, menyarankan klien untuk menerima realitas yang baru ditemukannya: bahwa beberapa nyeri yang dialami sebagai seorang anak telah tak terukur atau memanjang kemudian hal itu telah dikuburkan. Kemudian pengalaman yang dilupakan itu akan mengiringi adanya ketegangan emosional dan menjadi sumber emosi yang sarat dengan nyeri disepanjang kehidupan, penyakit psikosomatis, pikiran neurosis, pertahanan diri yang destruktif, dan mengalahkan perilaku diri sendiri.
Klien harus menemukan bahwa apa yang dia miliki dikembangkan untuk membangun dinding yang berisi nyeri. Hal ini tidak hanya menurunkan sensitivitas terhadap perasaan nyeri, tetapi juga menurunkan kemampuan untuk menikmati rasa kesenangan. Bagaimanapun secara perlahan menghadapi nyeri yang telah lama, dimulai untuk memperoleh kembali rasa kasihan untuk dirinya sendiri yang telah menghilangkan kebutuhan untuk bertahan hidup. Dengan demikian, akan menjadi lebih kasihan untuk orang lain dan meningkatkan kemampuan untuk merasa hangat serta rasa kedekatan.
Kebanyakan terapi meletakkan orang mengenal nilai pengalaman katartik yang terkait dengan trauma terbaru (seperti menangis untuk mengungkapkan kehilangan atau berkabung terhadap apa yang dicintai). Hal ini sangat cepat untuk menurunkan tingkat ketegangan. Melupakan trauma lama tercipta lebih tinggi, meskipun dalam ketidaksadaran, tingkat ketegangan menjadi membaik. Hal ini merupakan ketegangan yang diberikan seperti kekuatan yang tidak masuk akal untuk impuls neurosis. Dengan membuat suatu ”connective catharsis” dimasa lalu, impuls neurosis akan sangat diminimalkan dan bahkan bisa hilang selamanya.
Langkah selanjutnya, terapis merubah bentuk empati dalam alam bawah sadar dan diintegrasikan dalam ketidaksadaran ke arah kesadaran serta kemudian empati dalam alam sadar. Sebab klien telah memiliki kehidupan dari impuls neurosis alam bawah sadar di seluruh kehidupannya, area ini klien kurang pengalaman didalam hidupnya pada suatu alur relatif yang tanpa neurosis. Terapis kemudian fokus untuk eksplorasi terhadap hubungan, gaya hidup, dan secara luar biasa adanya emosi yang dalam terhadap rasa yang menyenangkan. Selanjutnya menjadi suatu kemungkinan adanya satu pikiran kesadaran, dibanding adanya satu pikiran yang tidak disadari. Hal ini merupakan suatu yang benar-benar dituntut.
Menurut Janov Primal terapi merupakan suatu hal penting dalam psikologi dalam arti bahwa pada akhirnya sangat diperuntukkan bagi penderitaan hidup manusia. Primal terapi adalah kemampuan untuk menurunkan atau mengeliminasi penyebab penyakit (host) manusia secara fisik dan penyakit fisik dalam suatu periode yang relatif singkat dengan pencapaian hasil akhir. Primal terapi bekerja untuk mengembalikan pendekatan secara normal.
Sebagai gantinya bekerja dari adanya gejala-gejala ke arah kemungkinan penyebab, atau bekerja dari penyebab ke arah gejala-gejala. Fokusnya adalah selalu mendalam. Dari pendekatan demikian kita mendapatkan perkembangan pengertian yang lebih dalama mengenai siapa diri kita dan apa yang kita kendalikan, dasar diri kita, yang tersembunyi, motivasi ketidaksadaran.
Menurut Janov, klien neurosis yang secara umum merasakan adanya nyeri, maka nyeri tersebut dinyatakan sebagai nyeri primal karena nyeri tersebut sangat alami, nyeri sekali yang pada akhirnya menjadi neurosis. Nyeri tersebut sering tidak disadari sebab mereka telah meruask melalui sistem yang berakibat pada organ tubuh, tulang, sistem limpe dan darah dan akhirnya akan merusak semua yang kita miliki. Primal terapi merupakan suatu cara untuk membasmi nyeri tersebut. Hal ini sangat revolusioner sebab bekerja melalui sistem neurotik dengan segala kekuatan.
Persiapan Primal Terapi
A.Kriteria untuk Terapis:
1.Memiliki perasaan yang cukup baik tentang primal terapi, memiliki perasaan komitmen ketika diperlukan dan secara teratur
2.Memiliki integritas yang diperlukan dan jujur untuk mengungkapkan kesalahan serta penerimaan terhadap kesalahan tersebut
3.Tidak merokok, tidak alkoholisme atau mengkonsumsi obat-obat terlarang
4.Memiliki keinginan yang sangat besar untuk membantu orang lain
5.Memiliki pengertian yang mengedepankan mengenai primal terapi
6.Memiliki sensitivitas untuk praktik klinik dan keterampilan yang sangat memadai
B.Pengukuran tanda-tanda vital
C.Adanya grup
D.Pelayanan emergensi
E.Pertemuan klien dan staf
F.Grup mentoring
G.Tempat yang tenang

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terapi selama 3 minggu yang dilakukan secara intensiv, setelah itu dilakukan ”follow up”. Hal ini bisa dilakukan dalam sesi individual ataupun dalam grup, bersama teman, melalui telepon dan/ video, serta sekali-kali dalam tempat yang tenang. Hal lain yang dilakukan adalah mengorientasikan pasien secara rutin setiap tahun.
Dalam waktu 3 minggu pertama, merupakan waktu yang terpenting dan diawali dengan langkah ke arah mempelajari mengenai nyeri dan mempelajari tentang perasaan tersebut. Pada akhirnya, memerlukan pasien baru untuk menghabiskan waktu 3 minggu dalam terapi individu di tempat pengasingan (isolasi), seperti motel atau dimanapun tempatnya yang bisa merasa sendirian.
Selama terapi dimulai, pasien baru akan menerima secara detail beberapa instruksi dalam waktu 3 minggu. Hal ini merekomendasikan pasien untuk tidak bekerja, menggunakan telepon, memakan snack, merokok, membawa obat terlarang (kecuali obat dengan resep). Pasien disarankan untuk menulis dan menyimpan suatu jurnalnya sendiri atau pengalamannya sendiri.
Hal lain yang dapat direkomendasikan yaitu disarankan membawa foto anak atau apapun yang dapat dibawa sebagai suatu memori yang terkait dengan sesuatu hal yang spesial bagi pasien.

Referensi: www.primalteraphy.com/CORES/aptCore.htm
www.primalteraphy.com/primal-page.com/beau.htm
www.egroups.com/group/Primal-Support-Group

by:noviebsuryanto.21juli2009

Baca selanjutnya...

Selasa, 03 Maret 2009

TREND DAN ISU KEPERAWATAN JIWA KALTIM

Peringatan hari kesehatan jiwa sedunia pada tahun 2008 mengambil tema: “MENJADIKAN KESEHATAN JIWA SEBAGAI PRIORITAS GLOBAL: MENINGKATKAN PELAYANAN KESEHATAN JIWA MELALUI ADVOKASI DAN AKSI MASYARAKAT”. Berdasarkan tema tersebut diharapkan dapat memacu perkembangan keperawatan jiwa dalam rangka mengembangkan pendidikan, pelayanan, riset keperawatan jiwa serta perkembangan organisasi profesi yaitu Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI) di Indonesia untuk mampu berkompetisi dalam era globalisasi yang sedang berlangsung saat ini.



Langkah IPKJI yang secara rutin menyelenggarakan Konferensi Nasional (KONAS) memiliki nilai strategis dalam mewujdkan Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa. KONAS telah menjadi suatu forum sharing informasi, inovasi dan edukasi serta komunikasi bagi komunitas keperawatan jiwa di Indonesia yang selanjutnya diharapkan mampu memberikan kontribusi sebesar-besarnya-besarnya dalam upaya mendukung program pemerintah membangun dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa masyarakat Indonesia.


Propinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu propinsi yang strategis dalam melakukan upaya meningkatkan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa. Kekuatan berupa aset pelayanan dan SDM tenaga keperawatan yang dimiliki oleh Propinsi Kalimantan timur cukup memadai dalam melakukan upaya yang dimaksud. Tenaga keperawatan yang ada di Propinsi Kalimantan Timur memiliki kualifikasi jenjang pendidikan yang bervariasi mulai dari SPR/SPK, D3, S1 dan S2 serta Spesialis Keperawatan. Data kesehatan jiwa yang diperoleh yaitu berdasarkan riset kesehatan dasar menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional bagi penduduk berusia 15 tahun ke atas di Propinsi Kalimantan Timur sebesar 6,9% (Depkes,2007). Hal ini menjadi peluang bagi Propinsi Kalimantan Timur untuk melaksanakan rekomendasi hasil KONAS I – V IPKJI yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa di wilayah Kalimantan Timur.

Uraian di atas menjadi pertimbangan mendasar bagi Akademi Keperawatan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur yang bekerjasama dengan PPNI Propinsi Kalimantan Timur untuk melakukan suatu upaya awal dengan melaksanakan kegiatan sosialisasi tren dan isu keperawatan kesehatan jiwa di masyarakat.Kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 18 Pebruari 2009 di Akper Pemprop Kaltim Samarinda. Peserta yang hadir sejumlah 30 orang dengan distribusi bahwa 19 orang dari perawat Puskesmas Se- Kotamadya Samarinda, 3 orang dari Akademi Keperawatan di Samarinda 7 orang dari RS Atma Husada Mahakam Samarinda.

Pada kesempatan membuka kegiatan ini, Kadinkes Propinsi Kaltim yang diwakili oleh drg.Suharsono, menyatakan bahwa "kegiatan yang digagas oelh Akper Pemprop Kaltim ini merupakan kegiatan yang sangat positif dalam upaya pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat. Drg. Suharsono juga menyampaikan bahwa gangguan jiwa merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan karena 8,1%DALY artinya produktivitas pasien menurun akibat gangguan jiwa hingga mencapai 8,1%. Selain itu dinyatakan juga bahwa angka gangguan jiwa di Kaltim menurut Riskedas mencapai 1,3% penduduk Kaltim mengalami GANGGUAN JIWA BERAT (Depkes,2007).Dinkes sangat mendukung program pelayanan keperawatan jiwa terutama dari aspek dana yang akan diperuntukkan dalam mengembangkan kesehatan jiwa Kaltim. Pihak Dinas Kesehatan juga mengharapkan bahwa kegiatan ini merupakan embrio untuk pengembangan pelayanan kesehatan jiwa dengan basis masyarakat dan perlu disusun upaya untuk kesinambungannya.

(noviebsuryanto.040309)

Baca selanjutnya...

Minggu, 08 Februari 2009

APA SIH SEHAT JIWA ITU ??

Kesehatan jiwa merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dan menjadi unsur terpenting dalam kehidupan manusia adalah sejahtera yang meliputi kebahagiaan, kepuasan, penerimaan, rasa optimis dan adanya harapan yang dimiliki oleh seseorang (Stuart & Laraia, 2005). Menurut Adler (dalam Kaplan, Sadock, & Grebb, 1997) kesehatan jiwa merupakan kemampuan seseorang untuk beraktivitas dengan tujuan meningkatkan harga diri, sehingga seseorang itu mampu beradaptasi. Penjelasan diatas memberikan makna bahwa sehat jiwa merupakan kemampuan seseorang dalam mempertahankan potensi yang ada untuk menghadapi kehidupan.



Maslow (1970 dalam Townsend, 2005) menyatakan bahwa karakteristik sehat jiwa adalah persepsi sesuai dengan realitas, mampu menerima diri sendiri dan orang lain secara alami, mampu fokus dalam memecahkan masalah, menunjukkan kemampuannya secara spontan, mempunyai otonomi, mandiri, kreatif, puas dengan hubungan interpersonal, kaya pengalaman yang bermanfaat, menganggap hidup ini sebagai sesuatu yang indah. Hal ini menggambarkan adanya karakteristik tertentu terkait dengan kondisi sehat jiwa yang menjadi suatu kebutuhan penting bagi setiap manusia. Karakteristik utama kesehatan jiwa adalah adanya keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku, kemandirian, bertanggung jawab, bersikap matang, serta dapat merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar kehidupannya. Penjelasan tersebut memberikan suatu pemahaman bahwa seseorang yang tidak memiliki karakteristik sehat jiwa, maka mungkin mengalami gangguan jiwa.

(by:noviebsuryanto.09.02.2009)

Baca selanjutnya...

Kamis, 29 Januari 2009

HARGA DIRI RENDAH

Harga diri merupakan suatu nilai yang terhormat atau rasa hormat yang dimiliki seseorang terhadap diri mereka sendiri. Hal ini menjadi suatu ukuran yang berharga bahwa mereka memiliki sesuatu dalam bentuk kemampuan dan patut dipertimbangkan (Townsend, 2005).



Harga diri rendah adalah suatu masalah utama untuk kebanyakan orang dan dapat diekspresikan dalam tingkat kecemasan sedang dan tinggi. Harga diri rendah kronik merupakan suatu keadaan yang maladaptif dari konsep diri, dimana perasaan tentang diri atau evaluasi diri yang negatif dan dipertahankan dalam waktu yang lama. Termasuk didalam harga diri rendah ini evaluasi diri yang negatif dan dihubungkan dengan perasaan lemah, tidak tertolong, tidak ada harapan, ketakutan, merasa sedih, sensitif, tidak sempurna, rasa bersalah dan tidak adekuat. Harga diri rendah kronik juga merupakan suatu komponen utama dari depresi yang ditunjukkan dengan perilaku sebagai terhukum dan tidak mempunyai rasa (Stuart & Laraia, 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan depresi yang diakibatkan karena harga diri rendah, yang salah satunya mempunyai hasil 15.600 siswa sekolah di Amerika, tingkat 6 sampai dengan 10 menunjukkan harga diri rendah yang diakibatkan karena sering dilakukan pengintimidasian/pengejekan berakibat menimbulkan resiko depresi pada usia dewasa (Kendree, 2001, ¶ 2, http://faculty.mckendree.edu/scholars/2001/wilde.htm, diperoleh tanggal 13 Maret 2006).

Penyebab lain dari masalah harga diri rendah diperkirakan juga sebagai akibat dari masa lalu yang kurang menyenangkan, misalnya terlibat napza. Berdasarkan hasil dari overview dinyatakan bahwa pecandu napza biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif agresif dan cenderung depresi. Remaja yang menyalahgunakan napza umumnya tidak mandiri dan menganggap segala sesuatunya harus diperoleh dari lingkungan.

Klien sebagai sistem menjadi suatu tolak ukur bahwa keluarga dan masyarakat adalah bagian dari subsistem tersebut. Keluarga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Mereka terdiri dari dua atau lebih orang dan meliputi anak-anak. Semua anggota keluarga saling mempengaruhi satu dan lainnya melalui interaksi dan saling memberikan support dalam memperlihatkan fungsi dasar yang perlu untuk kesejahteraan keluarga. Dengan latar belakang keluarga, maka anggota akan belajar bagaimana berhubungan dan berkomunikasi dengan yang lainnya. Keluarga juga mempengaruhi perkembangan individual. Jika keluarga memiliki pengaruh yang positif pada anggotanya, mereka akan mempunyai rasa dan pengakuan diri serta harga diri yang positif, dan akan menjadi produktif sebagai anggota masyarakat (Shives, 1998).
Komunitas dikatakan sebagai suatu sistem suport didefinisikan sebagai suatu jaringan kerja dengan kepedulian dan tanggung jawab yang dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan membantu suatu populasi lebih peka dalam menemukan kebutuhan mereka sendiri dan mengembangkan potensi mereka sendiri tanpa menjadikan adanya kepentingan yang terisolasi atau merasa sendirian dalam komunitasnya (Turner, 1986; Mohr, 2006).
Data-data diatas menunjukkan adanya dampak yang begitu besar pada kasus harga diri rendah kronis sehingga diperlukan intervensi keperawatan secara holistik, komprehensif dan paripurna. Intervensi dapat berupa terapi keperawatan kepada individu, keluarga dan masyarakat, dan psikofarmaka jika diperlukan, sehingga lebih efektif dalam usaha pengembalian fungsi hidup klien sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Terapi keperawatan yang dapat diberikan pada klien sendiri bisa dalam bentuk terapi kognitif. Terapi ini bertujuan untuk merubah pikiran negatif yang dialami oleh klien dengan harga diri rendah kronis ke arah berpikir yang positif. Pada keluarga terapi yang diperlukan dapat berupa triangle terapy yang bertujuan untuk membantu keluarga dalam mengungkapkan perasaan mengenai permasalahan yang dialami oleh anggota keluarga sehingga diharapkan keluarga dapat mempertahankan situasi yang mendukung pada pengembalian fungsi hidup klien. Pada masyarakat juga perlu dilakukan terapi psikoedukasi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang masalah harga diri rendah kronis yang merupakan salah satu bagian dari masalah gangguan jiwa di masyarakat.
(by:noviebsuryanto.last Jan'09)

Baca selanjutnya...

Senin, 26 Januari 2009

PENTINGNYA KOMUNIKASI DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN

Manusia sebagai makhluk sosial tentunya selalu memerlukan orang lain dalam menjalankan dan mengembangkan kehidupannya. Hubungan dengan orang lain akan terjalin bila setiap individu melakukan komunikasi diantara sesamanya. Kepuasan dan kenyamanan serta rasa aman yang dicapai oleh individu dalam berhubungan sosial dengan orang lain merupakan hasil dari suatu komunikasi. Komunikasi dalam hal ini menjadi unsur terpenting dalam mewujudkan integritas diri setiap manusia sebagai bagian dari sistem sosial.



Komunikasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari memberikan dampak yang sangat penting dalam kehidupan, baik secara individual maupun kelompok. Komunikasi yang terputus akan memberikan dampak pada buruknya hubungan antar individu atau kelompok. Tatanan klinik seperti rumah sakit yang dinyatakan sebagai salah satu sistem dari kelompok sosial mempunyai kepentingan yang tinggi pada unsur komunikasi.

Komunikasi di lingkungan rumah sakit diyakini sebagai modal utama untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang akan ditawarkan kepada konsumennya. Konsumen dalam hal ini juga menyangkut dua sisi yaitu konsumen internal an konsumen eksternal. Konsumen internal melibatkan unsur hubungan antar individu yang bekerja Komunikasi di lingkungan rumah sakit diyakini sebagai modal utama untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang akan ditawarkan kepada konsumennya. Konsumen dalam hal ini juga menyangkut dua sisi yaitu konsumen internal an konsumen eksternal. Konsumen internal melibatkan unsur hubungan antar individu yang bekerja di rumah sakit, baik hubungan secara horisontal ataupun hubungan secara vertikal. Hubungan yang terjalin antar tim multidisplin termasuk keperawatan, unsur penunjang lainnya, unsur adminitrasi sebagai provider merupakan gambaran dari sisi konsumen internal. Sedangkan konsumen eksternal lebih mengarah pada sisi menerima jasa pelayanan, yaitu klien baik secara individual, kelompok, keluarga maupun masyarakat yang ada di rumah sakit.Seringkali hubungan buruk yang terjadi pada suatu rumah sakit, diprediksi penyebabnya adalah buruknya sistem komunikasi antar individu yang terlibat dalam sistem tersebut.

Ellis (2000) menyatakan jika hubungan terputus atau menjadi sumber stres, pada umumnya yang ditunjuk sebagai penyebabnya adalah komunikasi yang buruk.Keperawatan yang menjadi unsur terpenting dalam memberikan pelayanan dalam hal ini perawat berperan sebagai provider. Fokus perhatian terhadap buruknya komunikasi juga terjadi pada tim keperawatan. Hal ini terjadi karena beberapa sebab diantaranya adalah: (1) Lemahnya pemahaman mengenai penggunaan diri secara terapeutik saat melakukan intraksi dengan klien. (2) Kurangnya kesadaran diri para perawat dalam menjalankan komunikasi dua arah secara terapeutik. (3) Lemahnya penerapan sistem evaluasi tindakan (kinerja) individual yang berdampak terhadap lemahnya pengembangan kemampuan diri sendiri.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka perlu diupayakan suatu hubungan interpersonal yang mencerminkan penerapan komunikasi yang lebih terapeutik. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan permasalahan yang dapat terjadi pada komunikasi yang dijalin oleh tim keperawatan dengan kliennya. Modifikasi yang perlu dilakukan oleh tim keperawatan adalah melakukan pendekatan dengan berlandaskan pada model konseptual sebagai dasar ilmiah dalam melakukan tindakan keperawatan. Sebagai contoh adalah melakukan komunikasi dengan menggunakan pendekatan model konseptual proses interpersonal yang dikembangkan oleh Hildegard E.Peplau.
(by:noviebsuryanto.270109)

Baca selanjutnya...

Senin, 12 Januari 2009

Kerusakan Komunikasi Verbal

Kerusakan komunikasi verbal (impaired verbal communication) didefinisikan sebagai suatu kondisi menurunnya, rusaknya, atau tidak adanya kemampuan untuk menerima, memproses, mengirim dan menggunakan suatu sistem lambang dalam berkomunikasi (NANDA, 2005).



Masalah kerusakan komunikasi verbal seringkali dirawat dirumah sakit sebagai akibat dari adanya masalah pada gangguan proses pikir, dalam hal ini adalah waham. Waham secara umum digolongkan sebagai salah satu bagian dari masalah skizoprenia. Penderita skizofrenia sering mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsi sosial, menghadapi masalah yang berhubungan dengan keterampilan interpersonal, memiliki keterampilan sosial yang buruk dan mengalami defisit fungsi kognitif. Termasuk dalam hal ini adalah kerusakan dalam melakukan komunikasi secara verbal. Hatfield (1998) dalam Hidayat (2005) mengatakan, sekitar 72% penderita skizofrenia mengalami isolasi sosial dan 64% tidak mampu memelihara diri (makan mandi dan berpakaian harus dibantu) ) (http:\\www.pikiranrakyatcybermedia.webmail, diperoleh tanggal 21 April 2006).

Keterampilan sosial penderita buruk, umumnya disebabkan karena onset dini penyakitnya, penilaian yang salah terhadap interaksi sosial, kecemasan yang tinggi dan gangguan pemrosesan informasi (Hidayat, 2005, http:\\www.pikiranrakyatcybermedia.webmail, diperoleh tanggal 21 April 2006). Skizofrenia didefinisikan sebagai penyakit organ otak yang secara serius mengganggu kemampuan berpikir dan berhubungan dengan orang lain. Penyakit ini mempengaruhi cara otak menerima dan menafsirkan informasi. Umumnya, pasien skizofrenia mengalami kesulitan membedakan antara khayal dan kenyataan, sering tidak tanggap, menyendiri, dan tidak melakukan kehidupan bermasyarakat.

Diagnosa pada seseorang yang diduga mengidap skizofrenia dibuat berdasar gejala yang menunjukkan ciri skizofrenia. Gejala-gejala yang berkaitan dengan fungsi dan proses berpikir dimasukkan dalam gejala kognitif. Gejala kognitif yang seringkali muncul adalah gangguan atau mengalami kesulitan berkonsentrasi, kesulitan belajar, kesulitan memusatkan perhatian, kesulitan mengingat, kesulitan mengorganisasikan dan melaksanakan ide atau suatu pemikiran. Seorang penderita skizofrenia akan mengalami kesulitan membuat keputusan. Bahkan, keputusan yang dibuat pun bukan merupakan sesuatu yang menjadi minat dan keinginannya (idionline/dtkhealth) (Chandra, 2005, http://idionline.org/infoidi-isi.php?news_id=766, diperoleh tgl 2 May 2006).

Skizoprenia dan gangguan waham sering berlanjut pada lansia atau sebagai suatu manifestasi dari diri mereka sendiri untuk hanya pertamakali selama proses kematangan (Townsend, 2005). Dalam hal ini gejala perubahan kognitif juga sering terjadi pada seseorang yang telah mengalami proses penuaan. Pada kondisi lebih lanjut gangguan proses pikir akan dialami oleh lansia. Dampak selanjutnya yang akan dialami oleh lansia adalah terjadinya kerusakan dalam berkomunikasi secara verbal. Proses penuaan mengakibatkan terganggunya berbagai organ di dalam tubuh seperti sistem gastro-intestinal, sistem genito-urinaria, sistem endokrin, sistem immunologis, sistem serebrovaskular dan sistem saraf पुसत

Perubahan yang terjadi pada otak mulai dari tingkat molekuler, sampai pada struktur dan fungsi organ otak. Akibat dari perubahan tersebut maka antara lain akan terjadi penurunan peredaran darah ke otak pada daerah tertentu dan gangguan metabolisme, neurotransmiter, pembesaran ventrikel sampai akhimya terjadi atrofi dari otak dan berat otak mengalami pengurangan kurang lebih 7% dari berat sebelumnya. Akibat di atas, maka fenomena yang muncul adalah perubahan struktural dan fisiologis, seperti sulit tidur, gangguan perilaku, gangguan seksual dan gangguan kognitif (Depkes, 2002, http://www.depkes.go.id/downloads/Keswa_Lansia.pdf, diperoleh tanggal 2 May 2006).

Berdasarkan gejala-gejala yang telah dipaparkan diatas, dapat dijelaskan bahwa pada pasien yang mengalami waham pada umumnya mengalami kerusakan komunikasi verbal। Hal ini terkait dengan gangguan kognitif yang dialaminya secara umum dapat dikategorikan dalam kerusakan pemrosesan terhadap informasi। Pada seorang lansia yang juga mengalami masalah waham, seringkali mengalami kerusakan komunikasi verbal. Menurut Townsend (2005) karakteristik pasien yang mengalami masalah tersebut diantaranya adalah kehilangan asosiasi ide, neologisme, bahasa gado-gado, tidak mampu berpikir secara abstrak, adanya clang assosiation, serta kurang adanya kontak mata.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka banyak sekali hal yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan kerusakan komunikasi verbal। Asuhan keperawatan yang berkualitas akan sangat ditentukan oleh upaya perawat dengan kemampuan critical thinking yang memadai. Dalam hal ini perawat mampu melakukan suatu modifikasi secara fleksibel untuk memutuskan tindakan perawatan yang tepat dan sesuai dengan kondisi serta permasalahan yang dihadapi pasien.

Tindakan yang diberikan oleh perawat tentunya akan terkait erat dengan kemampuan dalam memberikan suatu terapi keperawatan. Hal ini hanya dapat diberikan oleh perawat dengan kemampuan spesialis. Salah satu jenis terapi yang dapat diberikan pada pasien lansia dengan masalah kerusakan komunikasi verbal adalah dengan biblioterapi serta terapi perilaku dengan tehnik modifikasi perilaku. Sedangkan untuk terapi yang terkait dengan keluarga adalah terapi dengan tehnik triangle.

Selain fungsi mandiri seperti yang telah dijelaskan diatas, maka fungsi kolaborasi juga dilaksanakan oleh perawat. Kolaborasi dalam hal ini akan berhubungan dengan penegakan diagnosa medis serta pemberian terapi psikofarmaka yang sesuai dengan kondisi pasien. Pasien dengan kerusakan komunikasi verbal tidak terdapat dalam penggolongan dan penetapan diagnosa medis. Namun masalah tersebut merupakan bagian dari adanya gangguan proses pikir: waham, sehingga penggolongan diagnosa medisnya berada pada gangguan mental psikotik terutama pada masalah skizoprenia. Dengan demikian, psikofarmaka yang diberikan pada pasien pun akan terkait dengan obat antipsikotik.

(noviebsuryantodes08)

Baca selanjutnya...