Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Kamis, 29 Januari 2009

HARGA DIRI RENDAH

Harga diri merupakan suatu nilai yang terhormat atau rasa hormat yang dimiliki seseorang terhadap diri mereka sendiri. Hal ini menjadi suatu ukuran yang berharga bahwa mereka memiliki sesuatu dalam bentuk kemampuan dan patut dipertimbangkan (Townsend, 2005).



Harga diri rendah adalah suatu masalah utama untuk kebanyakan orang dan dapat diekspresikan dalam tingkat kecemasan sedang dan tinggi. Harga diri rendah kronik merupakan suatu keadaan yang maladaptif dari konsep diri, dimana perasaan tentang diri atau evaluasi diri yang negatif dan dipertahankan dalam waktu yang lama. Termasuk didalam harga diri rendah ini evaluasi diri yang negatif dan dihubungkan dengan perasaan lemah, tidak tertolong, tidak ada harapan, ketakutan, merasa sedih, sensitif, tidak sempurna, rasa bersalah dan tidak adekuat. Harga diri rendah kronik juga merupakan suatu komponen utama dari depresi yang ditunjukkan dengan perilaku sebagai terhukum dan tidak mempunyai rasa (Stuart & Laraia, 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan depresi yang diakibatkan karena harga diri rendah, yang salah satunya mempunyai hasil 15.600 siswa sekolah di Amerika, tingkat 6 sampai dengan 10 menunjukkan harga diri rendah yang diakibatkan karena sering dilakukan pengintimidasian/pengejekan berakibat menimbulkan resiko depresi pada usia dewasa (Kendree, 2001, ¶ 2, http://faculty.mckendree.edu/scholars/2001/wilde.htm, diperoleh tanggal 13 Maret 2006).

Penyebab lain dari masalah harga diri rendah diperkirakan juga sebagai akibat dari masa lalu yang kurang menyenangkan, misalnya terlibat napza. Berdasarkan hasil dari overview dinyatakan bahwa pecandu napza biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif agresif dan cenderung depresi. Remaja yang menyalahgunakan napza umumnya tidak mandiri dan menganggap segala sesuatunya harus diperoleh dari lingkungan.

Klien sebagai sistem menjadi suatu tolak ukur bahwa keluarga dan masyarakat adalah bagian dari subsistem tersebut. Keluarga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Mereka terdiri dari dua atau lebih orang dan meliputi anak-anak. Semua anggota keluarga saling mempengaruhi satu dan lainnya melalui interaksi dan saling memberikan support dalam memperlihatkan fungsi dasar yang perlu untuk kesejahteraan keluarga. Dengan latar belakang keluarga, maka anggota akan belajar bagaimana berhubungan dan berkomunikasi dengan yang lainnya. Keluarga juga mempengaruhi perkembangan individual. Jika keluarga memiliki pengaruh yang positif pada anggotanya, mereka akan mempunyai rasa dan pengakuan diri serta harga diri yang positif, dan akan menjadi produktif sebagai anggota masyarakat (Shives, 1998).
Komunitas dikatakan sebagai suatu sistem suport didefinisikan sebagai suatu jaringan kerja dengan kepedulian dan tanggung jawab yang dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan membantu suatu populasi lebih peka dalam menemukan kebutuhan mereka sendiri dan mengembangkan potensi mereka sendiri tanpa menjadikan adanya kepentingan yang terisolasi atau merasa sendirian dalam komunitasnya (Turner, 1986; Mohr, 2006).
Data-data diatas menunjukkan adanya dampak yang begitu besar pada kasus harga diri rendah kronis sehingga diperlukan intervensi keperawatan secara holistik, komprehensif dan paripurna. Intervensi dapat berupa terapi keperawatan kepada individu, keluarga dan masyarakat, dan psikofarmaka jika diperlukan, sehingga lebih efektif dalam usaha pengembalian fungsi hidup klien sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Terapi keperawatan yang dapat diberikan pada klien sendiri bisa dalam bentuk terapi kognitif. Terapi ini bertujuan untuk merubah pikiran negatif yang dialami oleh klien dengan harga diri rendah kronis ke arah berpikir yang positif. Pada keluarga terapi yang diperlukan dapat berupa triangle terapy yang bertujuan untuk membantu keluarga dalam mengungkapkan perasaan mengenai permasalahan yang dialami oleh anggota keluarga sehingga diharapkan keluarga dapat mempertahankan situasi yang mendukung pada pengembalian fungsi hidup klien. Pada masyarakat juga perlu dilakukan terapi psikoedukasi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang masalah harga diri rendah kronis yang merupakan salah satu bagian dari masalah gangguan jiwa di masyarakat.
(by:noviebsuryanto.last Jan'09)

Baca selanjutnya...

Senin, 26 Januari 2009

PENTINGNYA KOMUNIKASI DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN

Manusia sebagai makhluk sosial tentunya selalu memerlukan orang lain dalam menjalankan dan mengembangkan kehidupannya. Hubungan dengan orang lain akan terjalin bila setiap individu melakukan komunikasi diantara sesamanya. Kepuasan dan kenyamanan serta rasa aman yang dicapai oleh individu dalam berhubungan sosial dengan orang lain merupakan hasil dari suatu komunikasi. Komunikasi dalam hal ini menjadi unsur terpenting dalam mewujudkan integritas diri setiap manusia sebagai bagian dari sistem sosial.



Komunikasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari memberikan dampak yang sangat penting dalam kehidupan, baik secara individual maupun kelompok. Komunikasi yang terputus akan memberikan dampak pada buruknya hubungan antar individu atau kelompok. Tatanan klinik seperti rumah sakit yang dinyatakan sebagai salah satu sistem dari kelompok sosial mempunyai kepentingan yang tinggi pada unsur komunikasi.

Komunikasi di lingkungan rumah sakit diyakini sebagai modal utama untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang akan ditawarkan kepada konsumennya. Konsumen dalam hal ini juga menyangkut dua sisi yaitu konsumen internal an konsumen eksternal. Konsumen internal melibatkan unsur hubungan antar individu yang bekerja Komunikasi di lingkungan rumah sakit diyakini sebagai modal utama untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang akan ditawarkan kepada konsumennya. Konsumen dalam hal ini juga menyangkut dua sisi yaitu konsumen internal an konsumen eksternal. Konsumen internal melibatkan unsur hubungan antar individu yang bekerja di rumah sakit, baik hubungan secara horisontal ataupun hubungan secara vertikal. Hubungan yang terjalin antar tim multidisplin termasuk keperawatan, unsur penunjang lainnya, unsur adminitrasi sebagai provider merupakan gambaran dari sisi konsumen internal. Sedangkan konsumen eksternal lebih mengarah pada sisi menerima jasa pelayanan, yaitu klien baik secara individual, kelompok, keluarga maupun masyarakat yang ada di rumah sakit.Seringkali hubungan buruk yang terjadi pada suatu rumah sakit, diprediksi penyebabnya adalah buruknya sistem komunikasi antar individu yang terlibat dalam sistem tersebut.

Ellis (2000) menyatakan jika hubungan terputus atau menjadi sumber stres, pada umumnya yang ditunjuk sebagai penyebabnya adalah komunikasi yang buruk.Keperawatan yang menjadi unsur terpenting dalam memberikan pelayanan dalam hal ini perawat berperan sebagai provider. Fokus perhatian terhadap buruknya komunikasi juga terjadi pada tim keperawatan. Hal ini terjadi karena beberapa sebab diantaranya adalah: (1) Lemahnya pemahaman mengenai penggunaan diri secara terapeutik saat melakukan intraksi dengan klien. (2) Kurangnya kesadaran diri para perawat dalam menjalankan komunikasi dua arah secara terapeutik. (3) Lemahnya penerapan sistem evaluasi tindakan (kinerja) individual yang berdampak terhadap lemahnya pengembangan kemampuan diri sendiri.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka perlu diupayakan suatu hubungan interpersonal yang mencerminkan penerapan komunikasi yang lebih terapeutik. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan permasalahan yang dapat terjadi pada komunikasi yang dijalin oleh tim keperawatan dengan kliennya. Modifikasi yang perlu dilakukan oleh tim keperawatan adalah melakukan pendekatan dengan berlandaskan pada model konseptual sebagai dasar ilmiah dalam melakukan tindakan keperawatan. Sebagai contoh adalah melakukan komunikasi dengan menggunakan pendekatan model konseptual proses interpersonal yang dikembangkan oleh Hildegard E.Peplau.
(by:noviebsuryanto.270109)

Baca selanjutnya...

Senin, 12 Januari 2009

Kerusakan Komunikasi Verbal

Kerusakan komunikasi verbal (impaired verbal communication) didefinisikan sebagai suatu kondisi menurunnya, rusaknya, atau tidak adanya kemampuan untuk menerima, memproses, mengirim dan menggunakan suatu sistem lambang dalam berkomunikasi (NANDA, 2005).



Masalah kerusakan komunikasi verbal seringkali dirawat dirumah sakit sebagai akibat dari adanya masalah pada gangguan proses pikir, dalam hal ini adalah waham. Waham secara umum digolongkan sebagai salah satu bagian dari masalah skizoprenia. Penderita skizofrenia sering mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsi sosial, menghadapi masalah yang berhubungan dengan keterampilan interpersonal, memiliki keterampilan sosial yang buruk dan mengalami defisit fungsi kognitif. Termasuk dalam hal ini adalah kerusakan dalam melakukan komunikasi secara verbal. Hatfield (1998) dalam Hidayat (2005) mengatakan, sekitar 72% penderita skizofrenia mengalami isolasi sosial dan 64% tidak mampu memelihara diri (makan mandi dan berpakaian harus dibantu) ) (http:\\www.pikiranrakyatcybermedia.webmail, diperoleh tanggal 21 April 2006).

Keterampilan sosial penderita buruk, umumnya disebabkan karena onset dini penyakitnya, penilaian yang salah terhadap interaksi sosial, kecemasan yang tinggi dan gangguan pemrosesan informasi (Hidayat, 2005, http:\\www.pikiranrakyatcybermedia.webmail, diperoleh tanggal 21 April 2006). Skizofrenia didefinisikan sebagai penyakit organ otak yang secara serius mengganggu kemampuan berpikir dan berhubungan dengan orang lain. Penyakit ini mempengaruhi cara otak menerima dan menafsirkan informasi. Umumnya, pasien skizofrenia mengalami kesulitan membedakan antara khayal dan kenyataan, sering tidak tanggap, menyendiri, dan tidak melakukan kehidupan bermasyarakat.

Diagnosa pada seseorang yang diduga mengidap skizofrenia dibuat berdasar gejala yang menunjukkan ciri skizofrenia. Gejala-gejala yang berkaitan dengan fungsi dan proses berpikir dimasukkan dalam gejala kognitif. Gejala kognitif yang seringkali muncul adalah gangguan atau mengalami kesulitan berkonsentrasi, kesulitan belajar, kesulitan memusatkan perhatian, kesulitan mengingat, kesulitan mengorganisasikan dan melaksanakan ide atau suatu pemikiran. Seorang penderita skizofrenia akan mengalami kesulitan membuat keputusan. Bahkan, keputusan yang dibuat pun bukan merupakan sesuatu yang menjadi minat dan keinginannya (idionline/dtkhealth) (Chandra, 2005, http://idionline.org/infoidi-isi.php?news_id=766, diperoleh tgl 2 May 2006).

Skizoprenia dan gangguan waham sering berlanjut pada lansia atau sebagai suatu manifestasi dari diri mereka sendiri untuk hanya pertamakali selama proses kematangan (Townsend, 2005). Dalam hal ini gejala perubahan kognitif juga sering terjadi pada seseorang yang telah mengalami proses penuaan. Pada kondisi lebih lanjut gangguan proses pikir akan dialami oleh lansia. Dampak selanjutnya yang akan dialami oleh lansia adalah terjadinya kerusakan dalam berkomunikasi secara verbal. Proses penuaan mengakibatkan terganggunya berbagai organ di dalam tubuh seperti sistem gastro-intestinal, sistem genito-urinaria, sistem endokrin, sistem immunologis, sistem serebrovaskular dan sistem saraf पुसत

Perubahan yang terjadi pada otak mulai dari tingkat molekuler, sampai pada struktur dan fungsi organ otak. Akibat dari perubahan tersebut maka antara lain akan terjadi penurunan peredaran darah ke otak pada daerah tertentu dan gangguan metabolisme, neurotransmiter, pembesaran ventrikel sampai akhimya terjadi atrofi dari otak dan berat otak mengalami pengurangan kurang lebih 7% dari berat sebelumnya. Akibat di atas, maka fenomena yang muncul adalah perubahan struktural dan fisiologis, seperti sulit tidur, gangguan perilaku, gangguan seksual dan gangguan kognitif (Depkes, 2002, http://www.depkes.go.id/downloads/Keswa_Lansia.pdf, diperoleh tanggal 2 May 2006).

Berdasarkan gejala-gejala yang telah dipaparkan diatas, dapat dijelaskan bahwa pada pasien yang mengalami waham pada umumnya mengalami kerusakan komunikasi verbal। Hal ini terkait dengan gangguan kognitif yang dialaminya secara umum dapat dikategorikan dalam kerusakan pemrosesan terhadap informasi। Pada seorang lansia yang juga mengalami masalah waham, seringkali mengalami kerusakan komunikasi verbal. Menurut Townsend (2005) karakteristik pasien yang mengalami masalah tersebut diantaranya adalah kehilangan asosiasi ide, neologisme, bahasa gado-gado, tidak mampu berpikir secara abstrak, adanya clang assosiation, serta kurang adanya kontak mata.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka banyak sekali hal yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan kerusakan komunikasi verbal। Asuhan keperawatan yang berkualitas akan sangat ditentukan oleh upaya perawat dengan kemampuan critical thinking yang memadai. Dalam hal ini perawat mampu melakukan suatu modifikasi secara fleksibel untuk memutuskan tindakan perawatan yang tepat dan sesuai dengan kondisi serta permasalahan yang dihadapi pasien.

Tindakan yang diberikan oleh perawat tentunya akan terkait erat dengan kemampuan dalam memberikan suatu terapi keperawatan. Hal ini hanya dapat diberikan oleh perawat dengan kemampuan spesialis. Salah satu jenis terapi yang dapat diberikan pada pasien lansia dengan masalah kerusakan komunikasi verbal adalah dengan biblioterapi serta terapi perilaku dengan tehnik modifikasi perilaku. Sedangkan untuk terapi yang terkait dengan keluarga adalah terapi dengan tehnik triangle.

Selain fungsi mandiri seperti yang telah dijelaskan diatas, maka fungsi kolaborasi juga dilaksanakan oleh perawat. Kolaborasi dalam hal ini akan berhubungan dengan penegakan diagnosa medis serta pemberian terapi psikofarmaka yang sesuai dengan kondisi pasien. Pasien dengan kerusakan komunikasi verbal tidak terdapat dalam penggolongan dan penetapan diagnosa medis. Namun masalah tersebut merupakan bagian dari adanya gangguan proses pikir: waham, sehingga penggolongan diagnosa medisnya berada pada gangguan mental psikotik terutama pada masalah skizoprenia. Dengan demikian, psikofarmaka yang diberikan pada pasien pun akan terkait dengan obat antipsikotik.

(noviebsuryantodes08)

Baca selanjutnya...

Sekilas Kesehatan Jiwa Kaltim

Propinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu propinsi yang strategis dalam melakukan upaya meningkatkan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa.


Kekuatan berupa aset pelayanan dan SDM tenaga keperawatan yang dimiliki oleh Propinsi Kalimantan Timur cukup memadai untuk upaya yang dimaksud. Tenaga keperawatan yang ada di Propinsi Kalimantan Timur memiliki kualifikasi jenjang pendidikan yang bervariasi mulai dari SPR/SPK, D3, S1 dan S2 Keperawatan serta Spesialis Keperawatan. Data berdasarkan riset kesehatan dasar menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional bagi penduduk berumur 15 tahun ke atas di Propinsi Kalimantan Timur sebesar 6,9% (Depkes, 2007). Hal ini menjadi peluang bagi Propinsi Kalimantan Timur untuk melaksanakan rekomendasi hasil KONAS I – V Keperawatan Jiwa yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa di Kalimantan (noviebsuryantodes08).

Baca selanjutnya...

Kesehatan Jiwa Remaja

Penyalahgunaan narkotika, zat adiktif (napza), termasuk alkohol, opium, obat dengan resep, psikotomimetiks, kokain, dan mariyuana. Masalah serius dan yang terus berkembang dalam penyalahgunaan zat adalah peningkatan penggunaan lebih dari satu jenis zat secara serentak atau berurutan. Penyalahgunaan zat terlarang di Indonesia, menjadi perhatian bagi seluruh elemen yang ada di Negara ini. Golongan yang menjadi pengguna napza terbesar di Indonesia adalah remaja.



Usia remaja adalah usia yang rentan terhadap napza. Dari sekitar 2 juta orang pengguna napza di Indonesia, mayoritas pengguna berumur 20-25 tahun. Sembilan puluh persen pengguna adalah pria. Usia pertama kali menggunakan napza rata-rata 19 tahun. Demikian data yang diungkap oleh Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) cabang DKI Jaya (Human Health, 2002).

Bahkan Hasil survei LSM pemantau masalah narkoba di Sulawesi Tengah (Sulteng), Nilava Lingkar Studi (NLS), menyebutkan 15% pelajar sekolah menengah umum (SMU) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) di Kota Palu mengkonsumsi narkoba jenis pil koplo, ganja, dan sabu. 57% diantaranya mengaku perokok aktif, 17,5% perokok pasif dan pernah mengonsumsi minuman keras. ”Hanya 12% pelajar terbebas dari semua itu” (Media Indonesia, 2003).

Penyalahgunaan zat merujuk pada penggunaan obat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan suatu kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Sedangkan istilah adiktif umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat.

Penyebab dari munculnya masalah tersebut sangatlah multifaktorial, menurut beberapa sumber faktor tersebut diantaranya adalah faktor keluarga, faktor kepribadian, faktor teman sebaya, faktor lingkungan sekolah dan faktor kesempatan.

Berdasarkan hasil penelitian tim UNIKA Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota keluarganya (terutama remaja) terlibat penyalahgunaan napza. Keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang memiliki riwayat ketergantungan napza, keluarga dengan aturan yang tidak konsisten (misalnya, ayah bilang ya, tetapi ibu bilang tidak), dan keluarga yang sering konflik baik antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara. Selain itu juga keluarga dengan orang tua yang otoriter atau keluarga yang tidak pernah memberikan kesempatan pada anak untuk berdialog. Demikian juga keluarga yang selalu menuntut kesempurnaan dan keluarga yang selalu diliputi kecemasan.

Pecandu napza biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif agresif dan cenderung depresi. Remaja yang menyalahgunakan napza umumnya tidak mandiri dan menganggap segala sesuatunya harus diperoleh dari lingkungan.

Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan dalam kelompok, yaitu cara teman-teman atau orang-orang seusia untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu. Bila seorang remaja tidak bisa berinteraksi dengan kelompok teman yang lebih popular atau yang berprestasi (misalnya dalam bidang olah raga dan akademik), hal tersebut dapat menyebabkan frustrasi sehingga ia mencari kelompok lain yang dapat menerimanya.

Lingkungan sekolah turut mendorong terjadinya penyalahgunaan napza. Sekolah yang kurang berdisiplin dan tidak tertib, sering tidak ada pelajaran pada waktu jam sekolah, pelajaran yang diberikan secara membosankan guru yang kurang pandai mengajar dan kurang mampu berkomunikasi dengan siswa, serta sekolah tidak mempunyai fasilitas untuk menyalurkan kreatifitas siswa, merupakan ciri-ciri sekolah yang berisiko tinggi terhadap adanya penyalahgunaan napza pada murid-muridnya.

Saat ini kesempatan untuk mendapatkan napza relatif mudah, bahkan sekolah-sekolah termasuk sampai SD. Lingkungan masyarakat yang masih bersikap tak acuh seolah membiarkan penyalahgunaan napza. Faktor lainnya adalah lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

Hal-hal diatas, memberikan isyarat tersendiri bagi kita sebagai anggota masyarakat yang peduli, sekaligus berperan sebagai seorang perawat untuk melakukan suatu tindakan yang bermakna. Bila melihat faktor penyebab yang sangat muldimensional seperti penjelasan diatas, maka perawat perlu melakukan suatu program kerjasama lintas sektoral untuk melakukan tindakan yang paripurna dalam menanggulangi masalah napza.

Tentunya tujuan dari tindakan kita difokuskan pada peningkatan kesehatan, pencegahan, perawatan dan rehabiltasi. Pada tindakan peningkatan kesehatan dan pencegahan tujuanya adalah untuk meminimalkan angka kejadian napza. Sedangkan pada tindakan perawatan dan rehabilitasi lebih ditekankan pada kemampuan perawat saat menghadapi kasus-kasus napza. Hal ini lebih diarahkan pada pemberian asuhan keperawatan terhadap pecandu napza baik yang berada di rumah sakit atau dilingkungan komunitas.

(noviebsuryanto.08012009

Baca selanjutnya...

Penggunaan Diri Secara Terapeutik

Proses keperawatan jiwa merupakan suatu metode ilmiah yang dipergunakan perawat untuk menyelesaikan masalah klien. Penggunaan diri secara terapeutik pada saat memberikan asuhan keperawatan akan sangat mempengaruhi kualitas hubungan antara perawat dan klien. Perawat dalam hal ini, harus menghadirkan diri secara total untuk klien pada saat melakukan hubungan secara interpersonal.


Landasan secara ilmiah yang dapat diadopsi oleh perawat dalam melakukan hubungan interpersonal, adalah model konseptual Peplau yang dikenal sebagai model proses interpersonal. Peplau mendefinisikan aktivitas keperawatan merupakan suatu proses konseptualisasi yang diarahkan pada klien untuk lebih produktif sebagai suatu bentuk fungsi interpersonal; hal inilah yang menjadi orientasi tujuan proses antara perawat dan pasien.
Travelbee (1971) menggambarkan suatu instrumen untuk melahirkan suatu proses interpersonal dalam keperawatan “as the therapeutic use of self” yang didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk mempergunakan diri sendiri secara sadar dan dengan penuh kesadaran dalam upaya untuk membangun hubungan dan menyusun intervensi keperawatan ( Townsend, 2005).
Dalam hal ini perawat harus mengerti lebih dahulu mengenai dirinya sendiri sebelum dia mampu mengerti mengenai diri orang lain (klien). Proses pengembangan kemampuan untuk mengerti mengenai nilai-nilai diri sendiri, keyakinan, pemikiran, perasaan, sikap, motivasi, persangkaan, kekuatan, dan keterbatasan serta bagaimana pikiran dan perilaku berakibat terhadap orang lain, inilah yang disebut dengan kesadaran diri (Videbeck, 2001).
Hal tersebut memiliki makna bahwa semua komponen diri yang dapat ditampilkan haruslah sesuai. Kesesuaian tersebut dalam bentuk perilaku secara non verbal dan dalam bentuk perkataan secara verbal. Kejujuran perawat dalam hal ini sangat diperlukan karena merupakan komponen dari penilaian terhadap hubungan terapeutik yang dijalankan. Penguasaan kemampuan hubungan secara terapeutik menjadi komoditas yang sangat penting bagi seorang perawat. Hubungan secara terapeutik tersebut dibangun dengan tujuan untuk membantu klien.
Wujud dari penggunaan diri secara terapeutik dimulai dengan langkah adanya komunikasi yang juga secara terapeutik. Tehnik komunikasi terapeutik wajib dijalankan selama proses interaksi berlangsung antara perawat dan klien. Hal ini juga didasari oleh konsep yang telah berkembang dalam keperawatan jiwa bahwa diri kita adalah suatu alat sehingga perlu dipertahankan kondisinya supaya tetap terapeutik saat dipergunakan.
(noviebsuryanto.12012009)

Baca selanjutnya...